Ia seorang
muqaddam Tarekat Tijaniyah yang mendirikan dan mengasuh lebih dari 60 zawiyah,
pengasuh pondok pesantren, penulis buku agama, pengusaha, dan pendakwah.
Penampilannya
selalu rapi dengan busana baju muslim serta peci putih di ke-pala dan
bersarung. Dialah K.H. Ahmad Anshari bin Hasan Basri Al-Banjari. Pria kelahiran
Banjarmasin pada 16 November 1956 ini dikenal sebagai pengusaha travel biro
untuk pemberangkatan haji dan umrah. Dia juga seorang muqaddam tarekat
Tijaniyah yang melayani lebih dari 60 zawiyah di Kalimantan, Bangka, dan
Batam.
Selain itu,
K.H. Anshari, demikian ia akrab disapa jama’ahnya, juga dikenal sebagai
pendakwah. Namun dakwahnya sebatas sebagai menjadi khatib Jum’at, pengajian
khusus, serta khutbah nikah. Sebab, ia lebih menitikberatkan membina umatnya,
ikhwan Tijaniyah, di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Bangka-Belitung, dan Batam. Satu lagi, K.H. Anshari juga dikenal sebagai
penulis buku-buku keagamaan yang andal.
Sukses yang
dicapainya sekarang tidak lepas dari didikan orangtuanya, H. Hasan Basri. K.H.
Anshari, sebagai anak pertama dari enam bersaudara, diharapkan orangtuanya
untuk menjadi pandu bagi adik-adiknya. Selain belajar mengaji kepada ayahnya,
ia juga menjalani pendidikan sekolah dasar di SDN Melati Banjarmasin.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di tsanawiyah Pondok Pesantren
Darussalam, Martapura.
Ketika naik
ke tingkat aliyah, ia berguru kepada almarhum Guru Sekumpul, atau akrab
dipanggil “Guru Ijai”, kemudian belajar kitab hadits Al-Arba’in
kepada K.H. Syarwani Zuhri, yang sekarang mengasuh PP Albanjari di Balikpapan,
juga kepada almarhun Tuan Guru Salim Ma’ruf, sebagai pemimpin PP Darussalam
waktu itu. Namun belum selesai pelajarannya, Ahmad Anshari keluar, karena
kekurangan biaya.
Ketika
menganggur, Ahmad Anshari muda sempat ikut bekerja sebagai pendulang intan,
dan pekerjaan kasar lain, sehingga pada suatu kali ada orang yang mengajaknya
untuk bekerja di Makkah pada tahun 1975. Pikirnya, di Tanah Suci, selain
bekerja, ia juga bisa belajar kepada para guru atau ulama di sana.
Pekerjaan
pertama yang dilakukannya adalah sebagai penjaga Pom Bensin, dan
berganti-ganti dengan pekerjaan kasar lainnya.
Hampir
selama delapan tahun, ia bekerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dan
sempat pula ia belajar di Madrasah Shaulatiyah setahun. Tetapi karena beratnya
beban pekerjaannya, akhirnya aktivitas sekolahnya berhenti, dan meneruskan
pelajarannya kepada beberapa guru dan ulama secara penggal waktu.
Setelah
berganti-ganti pekerjaan, Anshari muda akhirnya mendapatkan pekerjaan yang
cocok, yaitu sebagai penjaga toko Arloji, yang akhirnya oleh pemiliknya ia
diserahi sekaligus sebagai manajernya. Di toko arloji inilah ia bekerja hingga
13 tahun. Jadi sudah 20 tahun ia bekerja di Arab Saudi. Di toko ini
pula, banyak sekali kesempatannya untuk belajar secara otodidak dengan membaca
kitab-kitab kuning usai bekerja. Kadang ia juga belajar kepada berbagai ulama
yang ada di Saudi, seperti Sayyid Muhammad Al-Maliki, Habib Salim bin
Abdurrahman Assegaf, serta beberapa ulama Tijani, seperti Syaikh Idris bin
Muhammad Abid Al-Iraqi dan Syaikh Hassan Az-Zakani. Ia banyak sekali menerima
ijazah atas buku-buku karya kedua ulama Tijani itu.
Di Saudi
pula, Anshari mendapatkan jodohnya, yaitu Hajjah Risnawati binti Abdulmuthalib,
yang waktu itu sedang melaksanakan ibadah haji bersama orangtuanya. Mereka
kini dikarunia sembilan anak. Yaitu Haji Muhammad Raihah (Jakarta), Haji Abdul
Nasir (Banjarmasin), Haji Toha (Banjarmasin), Haji Muhammad Zaini (Al-Azhar
Mesir), Hajjah Ruqayah (Banjarmasin), Haji Muhammad Taufiq (Banjarmasin), Haji
Fathi (Banjarmasin), Haji Hatim (Banjarmasin), dan Maftuh Ahmad (Banjarmasin).
Sedang istri
keduanya, Hajjah Mariatul Aslamiah binti Ali, belum punya anak.
Baca juga : 3.5 Tahun Stok, Mampu berdiri dan berjalan dalam hitungan jam ' APA RAHASIANYA'
Shalat di
Dalam Ka’bah
Pada
tahun 1988, K.H. Anshari pulang ke Indonesia, dan pada tahun itu juga ia
ditalqin K.H. Badri Masduki dari Probolinggo menjadi ikhwan Tarekat Tijani. Namun,
beberapa tahun di Indonesia sebagai pengusaha biro perjalanan haji dan umrah,
ia seperti ada isyarat untuk kembali ke Saudi lagi. Akhirnya pada tahun 1990,
ia kembali ke Saudi dan bekerja di toko arloji itu.
Tahun itu
pula, ia bertemu Syaikh Idris, ahli hadits asal Maroko, muqaddam Tarekat
Tijani, dan kemudian ditalqin menjadi muqaddam Tijani.
Begitu juga
ketika ia bertemu Syaikh Hassan Az-Zakani, ulama terkenal yang menjadi salah
satu guru Sayyid Muhammad Al-Maliki, seperti ada isyarat tertentu. Ia
mendapatkan surat dari Syaikh Hassan Az-Zakani untuk bertemu di Makkah, sedang
sebelumnya keduanya belum pernah bertemu dan berkenalan. Subhanallah, ketika
keduanya bertemu, seperti teman lama yang lama berpisah. Di Baitullah, K.H.
Anshari ditalqin kembali menjadi muqaddam oleh Syaikh Hassan Az-Zakani.
Sebetulnya,
pada tahun 1991, K.H. Anshari sudah memutuskan untuk berhenti dari kerjanya di
Makkah serta pulang ke Indonesia, tetapi ia tidak diperbolehkan oleh gurunya,
Syaikh Idris. Pesannya, nanti akan ada isyarat kapan ia boleh pulang ke
Indonesia.
K.H. Anshari
mendirikan zawiyah dan majelis ilmu di kawasan Sulaimaniyah hingga 1995.
Pada tahun 1995 itu juga, ia mendapat izin untuk pulang ke Indonesia.
Bahkan, tidak tanggung-tanggung, Syaikh Idris sendiri yang mengantarnya
sampai ke rumah di Banjarmasin. Sedang pada waktu itu, gajinya di toko arloji
akan dinaikkan 100%. Namun iming-iming tidak menggoyahkannya untuk mematuhi
perintah gurunya pulang ke Indonesia. Tugas menjaga zawiyah diserahkan kepada
K.H. Hasbullah Al-Banjari hingga saat ini.
Pada saat
itu, bulan Agustus-September 1995, Syaikh Idris sempat satu bulan di
Indonesia, sehingga berhasil bertemu para muqaddam dan ikhwan di berbagai kota
di Indonesia. Syaikh Idris sempat menalqin ribuan orang Indonesia menjadi
ikhwan atau muqaddam Tarekat Tijani.
K.H. Anshari
merasa mendapatkan nikmat besar selama tinggal di Makkah, yaitu, ketika
Baitullah direhab pada 1995, ia mendapat izin dari Kerajaan Saudi menjadi salah
satu orang yang diperkenankan masuk ke dalam Ka’bah. “Di situ saya shalat
sunnah empat rakaat, dan merasakan begitu dalam pengalaman ruhani yang sulit
diceritakan dengan kata-kata,” ujarnya.
Pengasuh
Pondok
Di
Indonesia, K.H. Anshari mendirikan usaha biro perjalan dengan bendera “PT
Bhuana Etam Lestari”, yang beralamat di Jalan Simpang Tiga Cempaka Sari 19 RT
24 Banjarmasin 70117, yang kemudian berkembang lagi menjadi ”Muslimun Travel”,
yang dijalankan anak-anaknya.
Salah satu
hasil dari usahanya ini, ia mendirikan Yayasan Al-Anshari, yang hasilnya di
antaranya adalah mendirikan Ma’had Al-Anshari, yaitu pondok pesantren untuk
anak-anak balita khusus untuk menghafal Al-Qur’an. Di pondok ini para santri
dididik di asrama dan dibiayai secara gratis, yaitu makan minum, penginapan,
serta keperluan sekolah, hingga pakaian serta keperluan sehari-hari, seperti
susu dan perawatan kesehatan. Ketika
didirikan pada tahun 2009, ada sekitar 100 anak, tetapi dalam perjalanan waktu
kini tinggal 56 anak. Mereka berumur antara lima hingga sembilan tahun.
Sekarang sudah ada yang hafal 27 juz, dan insya Allah akan mengadakan
khataman pada tahun ini untuk beberapa murid yang sudah lulus hafal Al-Qur’an
30 juz.
Karena
pondok pesantrennya ini sudah menunjukkan hasil, banyak orangtua yang
berminat menitipkan anaknya di pondok ini. Namun, karena keterbatasan ruang
dan guru, K.H. Anshari sebagai pengasuh sekaligus pengelola menunda dulu
masuknya santri baru. Hingga tahun ini sudah ada sekitar 100 calon santri anak
yang berstatus daftar tunggu.
Selain itu,
K.H. Anshari juga aktif di Tarekat Tijaniyah dan membina zawiyah di Kalimantan,
Bangka, dan Batam. Puluhan zawiyah dan ribuan ikhwan sudah dihimpunnya,
sehingga muridnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Karena itu, oleh
jama’ahnya di Sumatera, K.H. Anshari akrab disapa “Abuya”.
Dalam
berdakwah di masyarakat, usaha biro perjalanan, dan aktif di Tarekat
Tijaniyah, K.H. Anshari membagi waktunya dalam setahun menjadi tiga bulan di
Banjarmasin, tiga bulan di Saudi, dan enam bulan mondar-mandiri di berbagai
kota di Indonesia. Bahkan di Tarekat Tijani di Indonesia, perannya juga
seperti menteri luar negeri, dialah yang menjadi penghubung antara para ulama
Tijani di Timur Tengah maupun Afrika untuk datang ke Indonesia. Begitu juga
sebaliknya, ia pula yang akan memfasilitasi para muqaddam maupun ikhwan yang
ingin ke Timur Tengah atau Maroko, pusat Tarekat Tijaniyah di dunia.
Baca juga : 3.5 Tahun Stok, Mampu berdiri dan berjalan dalam hitungan jam ' APA RAHASIANYA'
Bunga Mawar
K.H. Anshari
dikenal juga sebagai penulis buku-buku keagamaan. Hampir 14 buku telah terbit,
berkisar tentang berbagai topik agama, seperti tuntunan shalat, tuntunan
mencara rizqi, masalah Tarekat Tijaniyah, dan syarah tentang Maulid Burdah
karya Imam Bushiri. Uniknya semua buku itu diterbitkan sendiri dan dibagikan
secara gratis.
“Banyak
orang yang ingin membeli, tetapi karena jumlahnya terbatas tidak terlayani.
Sedang Abuya sendiri tidak ingin karyanya dikomersialkan, semata-mata untuk
dakwah,” ujar Ustadz Haji Hasbi, adik sekaligus pembantu utamanya di pondok
pesantren.
Bakat
menulis K.H. Anshari sangat terpangaruh berbagai kitab ulama luar negeri maupun
dalam negeri. Salah satunya adalah Hamka. “Beliau dapat memadukan keindahan
sastra dan kedalaman ilmu, sehingga enak dan mudah dibaca untuk pembaca
segala umur. Saya sejak muda sangat menggemari semua buku karya Hamka,” ujar
K.H. Anshari.
Sedang
kecintaannya kepada Maulid Burdah sudah terbangun sejak kecil, yaitu
ketika ia mengalunkan syair-syair merdu Burdah itu di masjid bersama
para jama’ah. Di Kalimantan Selatan, pembacaan Maulid Burdah masih
berjalan di masjid pada malam tertentu hingga sekarang. Hatinya tergetar dan
merasakan kehadiran Nabi Muhammad SAW di tengah jama’ah Burdah itu.
Rencananya,
buku syarah Maulid Burdah K.H. Anshari, yang diberi judul Bunga Mawar,
insya Allah akan ditulis dan diterbitkan sebanyak 162 jilid, yaitu sebanyak
nazham syair di Maulid Burdah itu. Sekarang sudah terbit tiga jilid,
syarah atas tiga syair pertama. Berikutnya, buku keempat sudah jadi tetapi belum
dicetak, karena menunggu editing. “Semoga Allah memberikan saya umur panjang
dan kekuatan untuk melaksanakan cita-cita itu,” tuturnya.
Kecintaannya
kepada dunia penulisan membuat dirinya disiplin menyisakan waktu pada malam
hari untuk menulis. Karena itu, pada malam-malam tertentu, ia menulis di muka
rumahnya: permintaan maaf untuk tidak menerima tamu malam itu karena ia
sedang sibuk menulis. Keluarga dan jama’ahnya tahu, dan memakluminya.
Sumber : At-Tijaniyah
Baca juga : 3.5 Tahun Stok, Mampu berdiri dan berjalan dalam hitungan jam ' APA RAHASIANYA'
0 komentar:
Posting Komentar